SIE KOMUNIKASI SOSIAL (KOMSOS) Sie Komunikasi Sosial (Komsos) Paroki Santa Maria Mamuju dibentuk pertama kalinya di tahun 2017, sejalan dengan Kepengurusan Dewan Paroki Periode masa bakti 2018-2020. Tugas Seksi Komsos menurut Peraturan Rumah Tangga Dewan Paroki : Menyiarkan warta keselamatan kepada seluruh umat dengan memanfaatkan media komunikasi sosial seperti media cetak, sinema, radio, televisi, dan sebagainya.

SEJARAH PAROKI SANTA MARIA MAMUJU

A.     Sejarah Pendirian
Paroki Santa Maria Mamuju

Riwayat Gereja Katolik di Kabupaten Mamuju bermula ketika sekitar tahun 1976 umat Katolik mulai melakukan Ibadah di rumah-rumah yang diawali dengan 7 kepala keluarga antara lain :
1.      Alm. Petrus Iwawo (Warung Makan Tunggal)
2.      Dianto (Pegawai Dinas Kesehatan)
3.      Frans (Toko Anda)
4.      Matheus Ande’ (Pegawai BRI Cab. Mamuju)
5.      Paulus Iwawo
6.      dr. Petrus Te’dang (Dokter RSUD Mamuju)
7.      Salah satu Pegawai Kantor Pajak Mamuju.
Pada mulanya Ibadah dilakukan di rumah  Alm. Petus Iwawo (Rumah Makan Tunggal). Pada sekitar tahun 1979 atas inisiatif beberapa orang, kemudian membeli sebidang tanah yang rencananya untuk lokasi pembangunan gereja. Pada tahun 1980 umat mulai bertambah satu per satu, dan kemudian ibadah dilakukan dari rumah ke rumah antara lain rumah Bpk. Mayor Daniel Lembang di Asrama Kodim Mamuju, dan sejak saat itu pula mulai sering dilayani oleh seorang Pastor Tentara dari Kodam VII Wirabuana yang bernama P. Leo Blot, CICM.
Pada tahun 1980, tanah gereja yang dibeli kemudian disertifikatkan atas nama dr. Petrus Te’dang untuk memudahkan balik nama dan pengurusan surat-surat. Pada saat pengurusan tersebut, tidak akan dilayani dari pemerintah kalau tidak memiliki stempel, maka atas inisiatif Bpk. Matheus Ande’ akhirnya mencari gambar yang cocok yang kemudian menemukan sebuah gambar Rosario di dalam sebuah buku nyanyian. Akhirnya gambar tersebut dibuat menjadi stempel gereja dan akhirnya gereja Mamuju diberi nama Gereja Katolik Santa Maria.
Tahun 1982, ibadah kemudian dilakukan di rumah Bpk. Matheus Ande’.Pada tahun 1983 Mamuju kemudian dilayani oleh Pastor J. van Hersel dari Paroki Polewali dan ditetapkan menjadi satu Stasi dengan jumlah umat ± 10 KK.
Dalam tahun 1984, umat kemudian mulai mengumpulkan kayu. Tahun 1985 Pengantar Daniel Roge, seorang mantan seminaris yang pegawai PU mulai mengusahakan penggalian lobang untuk fundamen tiang pastoran. Pada tanggal 21 April 1985 pastoran yang berbentuk rumah Bugis sudah dapat didiami, sedangkankan kolongnya dipakai sebagai gedung gereja.
Pada pertengahan bulan Desember 1989 Pastor Jan van Hersel mendapat berita bahwa Pastor Yohan Direckx ditempatkan di Polewali dan beliau sendiri diangkat pula untuk Mamuju. Sebelum pindah ke Mamuju Pastor Jan van Hersel melakukan pesiar ke Irian Jaya sebagai hadiah atas peringatan panca windu imamatnya.
Sekembalinya dari Irian Jaya, beliau berpisah dengan Dewan Gereja di Polewali kemudian mengemasi barang-barangnya dan berangkat ke Mamuju untuk menetap di sebuah rumah panggung yang dijadikan Pastoran sekaligus gedung Gereja. Kolong rumah itu dijadikan sebagai gedung Gereja dan lantai atas sebagai tempat untuk Pastoran.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Paroki Mamuju resmi menjadi sebuah Paroki  pada sekitar akhir tahun 1989 atau Januari 1990, dengan wilayah pelayanan sampai ke Baras – Pasangkayu (saat ini disebut Kabupaten Mamuju Utara). Menurut informasi bahwa ketika resmi diangkat sebagai Pusat Paroki umat Katolik di Mamuju berjumlah ± 20 KK. Setelah Mamuju resmi menjadi Paroki, Pastor Jan van Hersel ingin memberi  nama Paroki sebagaimana pelindung Stella Maris namun ketika diperlihatkan stempel stasi yang sudah ada, akhirnya Pastor Jan menetapkan untuk tetap menggunakan nama Santa Maria.
Dalam bulan Juli 1991 Pastor Jan van Hersel mengambil cuti dan Pastor Yulianus Liling Sipata, Pr ditempatkan sebagai Pastor Bantu di Polewali dengan tugas khusus melayani jemaat-jemaat di Mamuju. Sekembalinya dari cuti, pada bulan Februari 1992 Pastor Jan kembali ke Mamuju lalu Pastor Yulianus Liling Sipata ditugaskan ke Agats di Irian Jaya. Dalam Tahun 1992 Dewan Paroki Mamuju sedang mengurus izin untuk membangun sebuah gedung gereja yang baru.
B.     Daerah Transmigrasi
Secara berkala Pastor Jan melayani transmigrasi-transmigrasi yakni daerah Toabo, Budong-Budong, Baras (I,II,III,IV), Balanti, Bambaloka, Tommo, Kuo dan Tarailu. Hampir setiap tahun ada tambahan satu – dua desa transmigrasi yang rata-rata ada 500 keluarga, kebanyakan asalanya dari Jawa dan Bali, tetapi juga sedikit-sedikit ada dari NTT, Flores dan Timor. Dalam tahun 1992 seluruhnya sudah ada kira-kira 200 keluarga Katolik.
Di Pasangkayu tempat ada sejumlah orang Bali yang Katolik, akan dibangun sebuah gedung Gereja ekumene yang besar dan indah dengan rumah dinas untuk Pastor dan Pendeta. Dalam Tahun 1992 Pastor Jan sudah mempersembahkan Misa di gedung Gereja Ekumene yang bentuknya hamper menyerupai mesjid. Di Budong-Budong, perusahaan karet ada sebuah desa yang dihuni oleh kira-kira 100 keluarga Flores dan dalam tahun 1992 mereka sendiri telah membangun sebuah pastoran. Di Toabo sendiri pada tahun yang sama membangun gereja yang baru.
Di daerah Tobada II ada keluarga Toraja yang Katolik, dan di daerah Tobada IV ada tambahan 60 keluarga Toraja Katolik dari Paroki Messawa. Di daerah Karossa ada 50 keluarga Toraja, di antaranya terdapat 10 KK yang Katolik.
Dalam Tahun 1992, di daerah Baras III orang Katolik mulai khawatir jangan-jangan muncul perselisihan dengan orang Protestan karena menggunakan bangunan gereja yang sama, akhirnya mereka berusaha untuk membangun gedung geeja sendiri. Di Baras IV, juga terjadi penambahan sekitar 40 KK dari Flores yang sebelumnya sudah ada 50 KK.
Pada bulan Maret 1992, Pastor Yulianus Liling Sipata kembali dari Irian Jaya dan akhirnya menetap di Mamuju bersama dengan Pastor Jan van Hersel. Akhirnya pada akhir bulan April 1992, Pastor Jan mendapat surat dari Keuskupan bahwa Pasangkayu dijadikan paroki baru dan dia sendiri menjadi Pastor parokinya yang pertama, dengan pusat paroki berada di Baras III dan pelayanannya sampai di Karossa.
C.     Perjalanan Paroki Mamuju Sampai Sekarang
Pastor Paroki yg selama ini Berkarya di Mamuju
Melihat kondisi bangunan gereja yang sekaligus rumah pastoran, umat Paroki Mamuju kemudian mulai merancang untuk mengganti gedung gereja lama dengan sebuah bangunan gereja yang permanen. Walaupun dalam proses pengurusan izin pendirian gereja menemui beberapa kesulitan(± 5 tahun baru dapat memperoleh izin), namun akhirnya pada tahun 1994 pembangunan gedung gereja sudah mulai dilaksanakan dan pada tahun 1996 gedung gereja yang baru tersebut diberkati oleh Uskup Agung Makassar Mgr. Johanes Liku Ada’, sedangkan gedung gereja lama tetap dijadikan sebagai rumah pastoran. Dalam pemberkatan gedung gereja Katolik Paroki Santa Maria Mamuju itu, turut pula diundang Pastor Jan van Hersel yang kemudian menjadi kunjungannya yang terakhir kali di Paroki Mamuju sebelum beliau meninggal dalam tahun yang sama.
Dalam perjalanan waktu, umat Paroki Mamuju semakin bertambah, baik di pusat paroki maupun di stasi-stasi. Saat ini Paroki Santa Maria Mamuju dalam Wilayah pelayanannya mencakup ± 35 Stasi dan 3 rukun di pusat paroki dengan jumlah umat sekitar 967 dan 3.798 jiwa. Di pusat Paroki sendiri saat ini terdiri dari 140 KK dengan jumlah jiwa ± 580 jiwa.

Sumber data :
1.      Hasil wawancara dengan Bpk. Matheus Ande’
2.      Buku Gereja Katolik di Toraja Barat, Karya G. van Schie, CICM
Previous
Next Post »